Aku
berlawanan cahaya. Akulah sisi gelap Alberto. Melekat di dirinya walaupun
sering kali samar. Aku bergerak layaknya Alberto. Aku mengetahui segala tentang
Alberto. Entah melalui apa aku mendengar, melihat, dan merasa, aku tahu semua
tentangnya.
“Aduuuuh,”
keluh Alberto. Aku memegang perut mengikutinya. Sejak dua jam yang lalu Alberto
merasakan sakit yang teramat sangat di perutnya. Ia mengamuk, mengeluh
kesakitan. Tinggal sendiri di sebuah gubuk yang hanya berisi satu tempat tidur
dan bilik kamar kecil membuat Alberto semakin tak memahami dirinya. Pagi,
siang, dan malam, ibunyalah yang memberinya makan. Ketika Alberto terlihat
tenang, sesekali ibunya mengelus dan mencium keningnya. Namun, ketika air muka Alberto berubah, ibunya segera
mengunci pintu gubuk itu dari luar.
Sudah
dua tahun Alberto hidup di sana. Hal itu bermula sejak ibunya tidak sanggup
lagi menahan ketakutan pada Alberto yang menurutnya sangat aneh. “Aku takut
dengan kegilaan anakku,” ungkap ibunya setiap ditanya alasan mengurung Alberto.
***
Alberto
merupakan seorang anak berusia 12 tahun yang memiliki sifat sangat pendiam,
rajin, dan patuh. Suatu ketika Alberto tiba-tiba berubah menjadi anak yang
sangat feminin. Ia memakai pakaian ibunya dan berbicara layaknya wanita dewasa.
“Bu,
aku mulai mencintai Diego tetangga kita. Aku sungguh terpesona padanya,” ucap
Alberto lembut.
“Hei,
apa-apaan kau ini? Sudah, jangan bertingkah aneh, pergi ke kamarmu. Ibu akan
menyiapkan makan malam,” tutur ibu Alberto.
Ketika
mengetahui hal itu, tak hanya ibu Alberto yang heran, aku pun begitu. Secara
terpaksa aku bergerak gemulai dengan sangat feminin mengikuti Alberto. Aku
merasa gerakanku tidak sesuai dengan jiwaku. Namun sepertinya Alberto tak
menyadari hal itu. Aku berteriak pada Alberto, “Hei bodoh, kau Alberto! Kau anak
kecil yang masih sekolah dasar!” Namun percuma, teriakanku tak terucap
sedikitpun. Bagaikan bisikan hati, hanya aku sendiri yang mendengar.
“Hai,
aku Eliza. Kau Diego, bukan?” Alberto memberanikan diri mengulurkan tangan pada
Diego yang sedang membaca koran di depan rumahnya.
“Apa-apaan
kau Alberto? Cepatlah pulang, ini sudah malam,” tolak Diego seraya masuk ke
dalam rumah. Dengan penuh sakit hati, Alberto pun pulang ke rumahnya.
“Ibu,
aku tidak ingin makan malam, aku ingin tidur!” sentak Alberto pada ibunya sambil
menangis dan menutup pintu kamar dengan keras. Ibu Alberto pun mulai merasakan
keanehan dan mengelus dadanya.
Jika
ingin tidur, Alberto tak suka dengan lampu menyala. Ia mematikan lampu kamarnya.
Tak ada cahaya, aku pun memudar.
Keesokan
harinya, aku sangat senang karena Alberto sadar kembali. “You’re back!”
teriakku. Alberto bergegas mandi dan sarapan. Ia mencium pipi ibunya dan
berangkat ke sekolah.
Hmm,
hal itu terjadi lagi. Namun sangat berbeda dari yang pertama. Kali ini aku
dipaksa Alberto melakukan hal yang tidak biasa lagi. Alberto menantang genk yang terkenal kejam di sekolah
untuk berkelahi.
“Kalian
sudah sering menghajar anak-anak di sekolah ini. Temui aku di belakang sekolah
setelah ini, dan akan ku beri tahu rasanya sakit!” tantang Alberto.
“Hahaha,
apa yang kau katakan, cupu? Kau mengigau?” kata Ron sang ketua genk. “Jangan panggil aku John jika aku
tak bisa mengalahkanmu!” teriak Alberto.
”John?
Hahaha. Hei, jangan mengigau, Alberjohn!” ejek Ron disambut gelak tawa teman-temannya.
Aku
semakin heran. Namun aku tak bisa menghentikan Alberto. Aku hanya bisa
mengikuti gerakannya. Aku memang bisa mengetahui perilaku Alberto yang tidak
bisa diketahui oleh orang lain. Namun, aku tidak bisa mengetahui isi hatinya,
mengapa ia melakukan hal ini. Aku tak bisa berontak.
“Teeet…”
Bel sekolah berbunyi. Segera aku dan Alberto ke belakang sekolah. Tak lama
datanglah Ron dan genk-nya dengan
muka yang sangat beringas. Pikiranku berkecamuk. Namun, gerakku nampak gagah.
Alberto mulai menghampiri mereka.
“Apa
yang kau inginkan, cupu Alberjohn?” ejek salah seorang anggota genk.
“Kau
ingin luka? Atau kematian?” tantang Ron.
“Ya,
aku ingin kematian. Namun bukan kematianku, tapi kematianmu!” balas Alberto
misterius.
“Hiaaaaa...!!!”
Alberto menyerang mereka satu per satu dan terjadilah perkelahian. Aku memukul
sisi gelap para anggota genk
tersebut. Aku merasa dikuatkan, entah oleh apa. Aku mulai bangga dengan
keberanian Alberto.
Pukulan
terakhir Alberto di atas perut dan di belakang leher Ron membuat Ron
tersungkur. Teman-teman Ron yang terluka parah segera melarikan diri.
“Sudah
ku bilang aku menginginkan kematianmu,” bisik Alberto pada Ron sesaat sebelum
Ron kehilangan nyawanya.
Alberto
pulang ke rumah mengenakan seragam yang kotor dan ada bercak darah. Ibunya
ketika itu kebetulan tidak ada di rumah. Setelah membersihkan diri, seolah tak
terjadi apa-apa, Alberto seperti biasa membaca buku di ruang tamu sambil memakan
snack kesukaannya. Tak ada ciri-ciri
kegelisahan di raut mukanya. Aku lagi-lagi merasa heran.
Alberto
benar-benar mempermainkanku! Sore hari, ia berdandan dengan kosmetik ibunya dan
menggoreskan tulisan “I love you, Diego” dengan lipstik di cermin rias ibunya. Setelah
puas, kali ini Alberto ke kantor polisi dan melaporkan bahwa ia melihat beberapa
siswa yang sedang berkelahi dan juga tejadi pembunuhan. Dengan menangis
seolah-olah trauma, ia menceritakan kronologi kejadiannya dan menyebutkan salah
satu siswa tersebut bernama Albertjohn.
“Aku
melihatnya sendiri, Pak. Ada yang terbunuh di sana,” ucapnya tersedu-sedu.
Aku
tahu, polisi tak akan langsung percaya dengan penyampaian Alberto. Bagaimana
tidak, seorang anak laki-laki dengan wajah penuh riasan dan pakaian menyerupai
perempuan datang malam-malam ke kantor polisi untuk menceritakan kasus
pembunuhan. Wajah polisi itu tampak heran melihat Alberto.
“Siapa
namamu dan berapa usiamu?” tanya polisi berkumis tebal itu.
“Aku
Eliza, 21 tahun. Aku sangat takut melihat kejadian itu, Pak. Sangat takut!” jawabnya.
Polisi tersebut mulai menenangkan Alberto, kemudian mengantarkannya pulang.
***
Ibu
Alberto yang baru datang ternyata telah ditunggu di depan rumah oleh bu Reika,
guru Alberto di sekolah. Ketika ibu Alberto mempersilakan bu Reika masuk,
tiba-tiba Alberto datang. Ibunya sangat terkejut melihat Alberto bersama
polisi. Alberto pun langsung berlari masuk ke kamarnya, sedangkan polisi yang
berada di depan rumah disambut oleh ibu Alberto.
Alangkah
terkejutnya ibu Alberto mendengar cerita polisi tersebut tentang pengaduan
anaknya. Yang paling mengherankan adalah hal tersebut serupa dengan cerita yang
kemudian disampaikan oleh bu Reika. Ia menyampaikan bahwa teman-teman Ron
mengadukan pembunuhan yang dilakukan Alberto pada Ron. Jasad Ron pun ditemukan
di belakang sekolah. Teman-teman Ron menyebutkan bahwa ketika itu Alberto
mengaku dirinya sebagai John.
Ibu
Alberto semakin tertekan. Di satu sisi, ia sadar bahwa anaknya mulai mengalami
keanehan. Di sisi lain, ia tidak percaya bahwa anaknya sampai melakukan hal
tersebut. Akhirnya, ia memanggil Alberto ke ruang tamu.
“Alberto,
ibu ingin bicara denganmu!” panggil ibunya sedikit berteriak.
“Aku
segera ke sana, Bu,” sahut Alberto dengan nada sopan. Alberto dan aku keluar
kamar dengan gerakan tenang seperti Alberto biasanya.
“Ada
apa, Bu?” tanya Alberto seraya duduk di samping ibunya. “Selamat malam, Bu
Reika. Ada apa Ibu ke rumah saya?” sapa Alberto lembut. Ibu Alberto, bu guru
Reika, dan polisi saling berpandangan heran.
“Hei
nak, kau sudah rapi. Siapa namamu?” tanya polisi dengan spontan.
“Perkenalkan,
aku Alberto. Ada keperluan apa Bapak kemari?” sahut Alberto sambil mengulurkan
tangannya. Polisi itu pun menyambut jabat tangannya agar tidak terlihat bingung.
“Alberto,
apa yang kau lakukan dari tadi pagi hingga malam?” tanya ibu Alberto serius.
“Aku?
Sekolah tentu saja. Belajar seperti biasanya. Pulang dan membaca buku. Tadi aku
sempat tertidur juga. Tak ada yang istimewa, Bu. Kau tentu tahu itu,” ucapnya
santai.
“Ibu
bertanya serius, Alberto! Jawab juga dengan serius!” bentak ibunya.
Alberto
terkejut melihat muka ibunya yang nampak sangat marah. Aku pun terkejut. Namun
aku lebih heran mengapa Alberto seolah-olah memang tidak menyadari perbuatannya
hari ini. Aku serasa ingin mengungkapkan segalanya, namun aku hanyalah bayangan
gelap yang juga tak mengerti sebab dari perilaku Alberto. Walaupun aku tidak
ikut campur dengan keputusan perilaku Alberto, namun aku juga merasa bersalah
karena telah membunuh Ron. Selain itu, aku sangat jijik pada perilaku Alberto
ketika mengaku dirinya sebagai Eliza.
Alberto
diam saja ketika dibentak ibunya. Namun tiba-tiba tatapannya berubah. Ia nampak
gelisah melihat polisi.
“Ada
apa Bapak kemari? Aku tidak salah. Aku membunuhnya demi kebaikan teman-temanku di
sekolah yang telah banyak disakitinya,” ungkap Alberto yang sontak berdiri dan mengepal
tangannya.
“Aku
sangat membenci Ron! Ia pantas mati di tanganku! Aku telah menyelamatkan
kebahagiaan teman-temanku!” jelasnya dengan gemetaran.
“Hei
Alberto, kendalikan dirimu!” ucap ibunya sambil memegang tangannya.
“Aku
John. Sudah berkali-kali aku bilang, aku John!” teriaknya sambil menghempas
tangan ibunya.
Semua
orang yang ada di tempat itu sangat terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Alberto
yang mencoba melarikan diri langsung ditembak oleh polisi di bagian kakinya.
Ketika Alberto tersungkur, ia langsung diborgol oleh polisi yang kemudian menelepon
anak buahnya agar segera membantu.
“Ibu
Alberto dan Bu Guru harus ikut saya juga ke kantor polisi,” tegas polisi sambil
membangunkan tubuh Alberto yang tergeletak lemas di lantai. Ibu Alberto
langsung ke kamarnya untuk menaruh barang bawaannya dan tiba-tiba…
“Aaaaaaa…!!!”
Ia berteriak histeris ketika melihat jasad Diego yang tergeletak di dekat meja
riasnya dan tulisan “I love you, Diego” di cermin.
Bu
guru Reika langsung mendatangi ibu Alberto dan ia pun langsung terkejut.
“Pak
polisi!!! Segera panggil anak buahmu, di sini ada mayat!” teriak bu guru Reika.
“Ayo
Bu, kita ke kantor polisi. Biarkan ini diurus oleh kepolisian,” tambahnya, mencoba
menguatkan ibu Alberto.
Ibu
Alberto pun menurutinya sambil menangis. Akhirnya, beberapa polisi datang dan langsung
mengamankan TKP dan juga jasad Diego.
Sesampainya
di kantor polisi, Alberto dirawat kakinya dan kemudian diproses hukum. Aku tahu
Alberto juga tidak memahami dirinya. Ia tidak bersalah.
***
Ternyata
keyakinanku benar.
“Alberto
tidak bersalah. Berdasarkan hasil asesmen dan diagnosa yang saya lakukan selama
kurang lebih empat minggu, Alberto dapat dikatakan mengalami gangguan kejiwaan
berupa Gangguan Identitas Disosiatif, biasanya disebut Kepribadian Ganda,” ujar
seorang psikolog yang menjadi saksi ahli pada persidangan Alberto. “Gangguan
inilah yang membuat Alberto memiliki kepribadian yang terpecah dan seolah
berganti-ganti. Mengenai penyebabnya, tentu perlu dilakukan asesmen dan
intervensi yang lebih mendalam melalui beberapa pendekatan,” tambahnya dengan
penuh keyakinan.
Aku
tahu, hal yang paling menyakitkan adalah kepribadian Alberto yang asli tidak
ingat dan tidak kenal sama sekali dengan kepribadian Eliza dan John. Sehingga
ia harus menanggung kebingungan atas seluruh proses penyembuhan yang
dijalaninya.
Berkat
kesaksian psikolog tersebut, Alberto dinyatakan tidak bersalah dengan alasan mengalami
gangguan kejiwaan. Alberto dirawat selama satu tahun di institusi mental dan
diisolasi dari lingkungan karena ia cenderung membahayakan. Semakin lama,
ibunya semakin kesulitan membiayai perawatan Alberto. Kemudian, ibunya
memutuskan untuk merawat anaknya sendiri di rumah.
Psikolog
dan psikiater yang merawat Alberto telah melarang hal tersebut. Namun,
keputusan tetap di tangan ibunya. Alberto dirawat di rumah dengan obat yang
lebih murah dan kadang-kadang melakukan terapi. Tak kunjung sembuh, nampak
kepribadian Alberto bertambah. Ia terkadang menangis seperti anak usia empat tahun
dan terkadang suaranya menyerupai laki-laki lanjut usia. Karena ketakutan, terpaksa
ibunya mengurung Alberto di sebuah gubuk tepat di samping rumahnya. Hanya sebuah
tempat tidur dan bilik kamar kecil yang ada di dalam gubuk tersebut.
Alberto
telah mengetahui gangguan yang dialaminya, namun entah mengapa semua terasa
samar baginya. Ia pun bahkan tidak tahu kapan ia berperilaku sesuai kepribadian
aslinya dan kapan ia berubah. Dan aku? Bagaimanapun juga aku tetap bersama
Alberto. Aku tak pernah berpisah dengannya selama ada cahaya yang menyinarinya.
Aku mengetahui dan menyadari segala perubahan Alberto dan tentu tak ada pilihan
lain bagiku selain mengikutinya. Aku hanya bisa menemaninya dalam samar, tanpa
bisa berucap, maupun menghiburnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar